GARA-GARA
BENG-BENG
SEKALI NYOBA, BERASA DAHSYATNYA!
“Thok…
thok… thok! Jes, bangun! Sekolah nggak? Sudah siang sayang!” Dengan suaranya
yang sopran mama berkata di balik pintu.
“Ehm…”
Dengan tak acuh aku kembali menaikkan selimut. Tidur lagi…!
“Jes…
Dhok…!dhok…!dhok…! ya ampun ini anak perawan! Bangun Jesica!” “Iya… iya…ya” Dengan mata setengah melek
aku terbangun, beringsut dengan mundur. Belum semua saraf otakku terbangun,
langsung sport ketika pantatku tidak menemukan lebaran ranjang. Dengan muka tertekuk-tekuk,
berjalan sempoyongan dan si pantat yang sakit aku menuju kamar mandi di dalam
kamarku. Sialan! Pantan dah trepes gini, jatuh lagi! Mungkin Tuhan bermaksud
membuaku kesal. Abisnya, baru jalan empat langkah, jempolan kakiku menabrak
kaki meja yang kuat! Ah… dasar nasib memeng sial!
Belum
sempat sarapan aku langsung menjinjing sepatu kets putihku keluar rumah. Aku
berlari keluar halaman dengan bertetiak-teriak.
“Hei…
tunggu-tunggu!” Angkot yang ku teriaki berhenti juga dalam jarak sepuluh meter.
Ah… dasar! Aku masih harus berlari lagi dengan sepasang sepatu di tangan ku.
Ku
hempaskan pantatku kee jok penumpang sambil ngomel-ngomel. “Si abang nih, narik
angkot pagi-pagi bener!”
“Ya
ma’af neng, biasanya abang juga nariknya jam segini kan ?”
Samar-samar
ku dengar helaan nafas kedua temanku, Lena dan
Desi yang ternyata sudah duduk manis disampingku. Aku cuek aja sambil memakai
kaos kaki sama sepatu kets.
“Lo
aja kali Jes, yang bangunnya kesiangan?” sambung Lena .
“Ya
maklumlah, semalem kan
gue belajar sampai kemaleman?!” sewotku.
“Ha…??
Lo belajar? Sampai kemaleman?! Nggak salah tu? Jesica belajar? Aduh… mimpi kok
di siang bolong!” kucibirkan mulutku ke Desi. Ini nih, temen dari banyak
temenku yang suka nyinyir, sampai kadang-kadang ingin ku plester satu meter
mulutnya itu. Tapi… dia sebenernya anak yang baik sih. Cuma itu mulutnya!.
Kami
bertiga melenggang dengan pesona masing-masing ke halaman SMAN 1 Semarang. Lena yang bermuka cantik dan bijak, Desi yang centil
pintar dandan. Lalu aku…? Aku ya, seperti ini,ikal rambut tak teratur, jauh
dari make-up, tiga jerawat di kening yang tak terawatt, pakaian seragam tanpa
blang-blang dkk. Pokoknya easy going deh!
Ketika
mencapai lorong menuju kelas X.V seorang siswa,kakak kelasku tersenyum menggoda
ke arahku. Sentak aku sebel! Udah di bilangin, aku Jesica Wati nggak punya
mood! Buat jalin asmara ,
teteeep aja bujuk! Muke gile! Ku plengoskan wajahku, kakak kelas itu melongo
merana. Lena dan Desi cekikikan meninggalkan si kakak kelas yang malang di belakang.
“Ya
ampun, Jess, mau sampai kapan lo kayak gini? Udah deh lupain si sialan Mario!
Lupain ja sih… si play boy itu, masak iya sih lo harus mutar 180 derajat? Hanya
untuk melampiasin sakit hati elo? Jangan deh, kami nggak kuat lama-lama kalao
lo kayak gini terus”
“Dengerin
tuh, yang Lena bilangin!” sambung Desi.
Aku
hanya menarik nafas berat, memang semua
ini berawal mula dari perasaannya yang mendua dengan cewek lain kelas. Huh, 180
derajat? Memeng iya. Dulu penampilanku nggak serba easy going. Pelajaran selalu
dapat nilai yang terbaik. Tapi sekarang janankan dapat rata-rata dapat angka lima aja harus nyontek.
Tapi… yang terparah, aku tidak lagi percaya apa tang di sebut cinta sejati.
Mario, dulu dengan segala jenis perkataannya telah membuatku muak. Pada cinta,
bull shit, cowok? Piker dua belas kali. A ku menarik nafas, huh… biarlah. Ku
tepuk saku bawahanku. Masih! Itu contekan buat mid semester. Kali ini yang
terakhir, akhir mid semester, akhir nyontek! Aku melenggang cemas campur
semangat. Sebentar lagi aliran andrenalinku akan mencuat keras, untuk nyontek!.
***
Sambil
makan cokelat BENG-BENG, Lena merangkul
bahuku. “Beneran lo nggak mau pulang bareng kita?”
“Nggak
deh Len, gue mau ke supermarket. Mau beli sesuatu” jawabku malas.
“Ya
udah, kami duluan ya!”
“Yuuuukk!”
sambut Desi. Aku hanya tersenyum kecil.
Dengan
keranjang penuh belanjaan aku menuju kasir. Antri di depan cowok kuliahan
lengkap dengan jaz seragam warna hitam. Aku menunggu tak sabar. Lama amat…
belanja apa sih? 2 detik… 4 detik… Aduh masak laki kalau belanja lamanya sama
banyaknya, ngalahin cewek?! Mulutku manyun . Ya udah, lebih baik aku periksa
dulu belanjaan! Biscuit, cokelat, kerupuk kentang titipan mama yang seabrek,
lalu… SRUK! Belum sempat selesai mendata, aku sudah ditumpahi belanjaan
seabrek. Ya, aku di tabrak si anak kuliahan di hadapanku dengan belanjaannya
yang menggunung. Belanjaan ku juga ikut jadi korban. Otomatis kami memunguti
barang-barang yang terlantar.
“Sorry-sorry,
beneran aku nggak sengaja! Nggak lihat…”
“Ya
iyalah belanjaan menggunung gitu! Mana bisa lihat?!”
Sewaktu ku lirik dia sekilas. Oh shit!
Tatapannya … tatapannya lembut banget! Jadi risih sendiri. Lalu kami berdiri
dengan belanjaan kembali semula.
“Kamu
nggak apa-apa kan ?”
Aku
mengangguk seadanya. Kesal juga dengan tatapannya yang rasa-rasanya nggak mau
berkedip. Masih aja di belakang ku ketika aku menyerobot ke kasir.
Aku
menunggu… masih menunggu… menunggu! Oh, manasih angkotnya?! Ku usap lemas
jidatku. Menatap langit yang sudah tidak seterang tadi. Sudah sore, ujung
sepatu kets ku menginjak gemas lantai batako. Uuh… mana angkotnya? Lalu
pengendara motor TIGER mutakhir berhelm membungkus erat kepalanya berhenti di
depanku. Ku tatap nanar orang yang berhenti di depanku. Helm itu di buka dan
menatap ku dengan senyum damai.
“Kok
masih disini?” penabrakku tadi.
“Ho’oh
nunggu angkot tapi rasa-rasa udah di boom ludes tadi! Kesel ku.
Ya
udah, gimana kalau kamu aku anterin?”
“Nggak
usah,” jawabku datar.
“Aku
masih tahan 2010 jam lagi kok!” sewotku.
Penabrak
ku hanya tersenyum saja. Lalu mengendarai motornya ke keramaian jalan tol. Ku
usak-usak rambut ikalku yang tak teratur. Angkot belum datang juga, nggak bawa
ponsel lagi, mau telpon rumah tapi penghuninya pada makan malam di rumah bude.
Mau telpon Lena atau Desi pasti tak akan
membantu! Huh! Mereka akan sibuk dengan pacar! Ini kan malam minggu! Lalu… kuputuskan jalan
kaki. Itung-itung mengurangi jarak. Kaki terasa sakit tak karuan membuatku
berhenti. Hari sudah gelap, dan rumahku masih di jarak dua kilo meter. Aduh…!
Lalu motor TIGER tadi sore berhenti disampingku lagi. Bukan dengan helm, tapi
topi dan kaca mata biru bening, iiih….
“Kasihan! Kenapa? Nggak dapat
angkot? Udah deh nyerah aja! Sampai 2010 jam sekalipun kamu masih akan disini.
Ayo…!”
Aku mengkerutkan kening, kuangkat daguku ke
arahnya yang rapi.
“Lagi
sibuk kan ?
Nggak ah ganggu aja.”
“Tenang
aja lagi, masih dua jam kok janjinya.”
Yam
au gimana lagi? Kaki rasanya sudah lengket!, ku terima saja tawarannya. Selama
perjalanan 2 km kami bercakap-cakap ringan. Kami berkenalan,bnaamanya Adi
Firansyah, kuliah di UNDIP tekhnik sipil semester 2. tidak seperti aku,
bicaranya lancar tanpa kekakuan. Kamipun sampai di rumahku yang berlantai dua,
berlatar belakang penghijauan. Dia tak ku tawari masuk ke dalam, dan Adi tak
ambil pusing.
Mandi
ala bebek,pakai baju kebesaran yang nyaman, duduk di ranjang dan membongkar
belanjaan. Kok? Ada
Beng-Beng? Itu…..taukan?? wafer di balut cokelat dkk. Ku pikir lagi,
rasa-rasanya nggak beli deh! Lagian cuma satu bungkus aku lebih suka beli satu
pack, sekalian sebagai persediaan! Apa ini miliknya Adi ya? Bisa juga sich… ku
tarik laci meja belajarku . lalu ku masukkan Beng-Bengnya Adi dan sudah! Terlindung
agar bisa ku kembalikan….. suatu saat nanti.
Ketika
ku terlelap tatapan itu datang. Dengan senyum manisnya mengganti ejekan Mario
dengan ceweknya yang berganti-ganti. Mendekat padaku dengan hadiah…. suatu cokelat,
Beng-Beng. Lalu mataku nyala. Menatap langit-langit kamarku dengan dahi
berkerut.
Kok? Adi? Beng-Beng? Dengan rada sempoyongan
kuraih laci. Beng-Beng dengan nyaman bersandar di dekat kotak rahasiku. Ya
sudah, aku tidur lagi. Tatapan itu masih datang, hanya saja aku sudah tidak
berpenampilan going kayak sekarang, tapi benar-benar BE MYSELF.
Keesoksn
paginya, semua berubah, penampilanku lebih teratur. Meskipun ikal rambut masih
tak karuan, paling tidak, aku tidak bangun terlambat, ku sapa papa mama yang
sedang sarapan nasi goreng special. Papa angkat alis melihatku. Aku pura-pura
tidak tahu, aku tersenyum sendiri. Selesai sarapan, aku pamit keluar. Dalam tas
rancel hitamku ada Beng-Bengnya Adi. Ya misi pengembalian di mulai.
Aku
mulai bosan. Berkeliling di panasnya bumi yang membakar kulit. Tak ku jumpai
Adi. Ku ewati super market, masuk ke dalam hingga berkali-kali. Tapi… ah,
capek! Kuhentikan mobil sedan keluarga di lampu merah. Ku buka lagi tasku, si
Beng-Beng terdiam dengan pesonanya. Ingin ku makan saja, jadi kalau ketemu Adi,
ku ganti dengan chas money. Tidak…
Pulang,
selesai sekolah ku cari lagi Adi, nggak ketemu juga. Ah… capek! Sampai 4 hari
keadaan nggak berubah. Lena dan Desi
menggelendus akan gelagatku. Aku di tanyaa ini itu sampai mau ngaku hingga ku
katakana yang sesujurnya bahkan tentang kehadiran Adi yang selalu muncul dalam
mimpi dan pada wajah orang lain menjelma indah di wajah orang lain, tersenyum
mempesona dengan tatapan lembutnya.
Lalu
rencana kedua teman baikku datang dengan konyolnya. Aku di paksa atau tepatnya
di seret ke universitasnya Adi. Disana kami memakai seragam sekolah tampak
mencolok. Dilirik para mahasiswa dengan penuh keingintahuan. Lalu kami
mendekati dua orang yang duduk di bangku taman yang sedang main catur dengan
serius. Desi berdehem kentara. Mereka melirik kamidengan tersenyum ramah.
“Ada yang bisa kami Bantu?
” Tanya mahasiswa bercelana kaki pendek. Kami saling menyodok lengan kawan.
Lalu dengan tenang agak gugup Lena menjawab,
aku hanya diam membisu.
“Itu
Adi Firansyah ada?”
Teman
yang satunya balik Tanya “Adi Firansyah yang mana ya?”
Kali
ini aku harus bicara, sudah kadung! “Ee….., fakultas tekhnik sipil semester II”
“Ee…….!”
Mereka mengucapkan sama – sama. Lalu si celana kaki pendek pergi ketempat
beradanya Adi.
Teman
yang di tinggal itu di introgasi Lena dan
Desi, aku si diem aja. Di mulai dari siapa, Adi dan cewek idamannya.
“Adi
itu …… ya, semenjak di putus cewek yang menduakannya , walaupun bisa di bilang
si ceweknya itu bilang SOUL MATE segala, tau kan apa itu SOUL MATE?? Belahan
jiwa, belahan jiwa!!! ”
“Lalu
intinya?” Desi mulai sewot. Si mahasiswa ini banyak omong tanpa ujung pangkal.
“Singkatnya
dia sakit hati! Tapi …… dia berhasil membalut lukanya dan …sembuh.”
“Jadi,
cewek idaman Adi itu yang bagaimana??” Tanya Lena dengan kesabaran yang
berlebihan.
“Be
yourself!! Itu thok!!” lalu garuk – garuk kepala. “Nggak perduli dia cantik
atau jelek, pokoknya jadi diri sendirilah”
Lalu
datanglah Adi Firansyah yang berpakaian necis. Aku menyumpahi jantungku yang
berdentam – dentam tak terjinakkan. Aduh …..kok!! lebih dari getarannya Mario
ya? Ku tatap Desi dan Lena bergantian.
“Whoii….!!
Jesica kan ?”
Aku
mengangguk, “Ada
angina apa nich?”
Saat
mau buka mulut, Desi menyerobot “Eh – eh, kami boleh kan di ajak keliling – keliling kampus?”
“Eh…
iya tentu boleh, capa tahu lulus nanti kalian masuk kampus ini” jawab mahasiswa
tadi seadanya.
Jadi
yach, kami di tinggal berdua. Adi duduk tiga jengkal jauhnya. Suasananya kaku, ku ambil Beng – bengnya Adi dari rancel. Ku serahkan
dengan cemas, dianya malah terbahak.
“Ini??”
“He’eh
ikut keseret gitu, pas jatuh kemarin”
Dia
menggerek. Di pungut Beng – beng mungil itu, di buka bungkusnya dan di bagi
dua, di kasihnya padaku satu. Kami memakannya dengan tenang.
“Makasih
ya, sebenarnya kamu nggak harus ngembaliin kok. Kamu bisa memakannya.”
Aku
menggeleng. “Ah begitu”
Pertemuan
kami itu mengeratkan hubungan persahabatan kami. Ya, begitu deh! Aku mulai
merasa bodoh dengan keadaanku yang lalu. Down tanpa terkira – kira, dan merasa
tak nyaman dengan keadaan yang bukan diriku itu. Semester akhir aku kembali
meraih semangatku yang telah hampir pupus. Dan Mario… kabar terakhir yang ku
dengar, dia di putus ceweknya parahnya lagi tu cewek yang paling di
gandrunginya. Depresi mungkin dia sekarang. Yups Be Yourself! Itu semboyan
kebanggaanku sekarang.
Perasaan
ini semakin menggila tapi aku takut untuk mengutarakannya. Mungkin ada telepati
ya?. Lagi – lagi Lena dan Desi yang berbuat.
Tahu apa jawabannya?? Tidak ada perasaan yang benar – benar gantung pada satu sama
lain. Harus menjadi diri sendiri dan yang terpenting, KOMITMEN.
So,
hubungan kami tah tahu ujung pangkalnya. Hingga suatu malam ulang tahun mama
yang kami rayakan bertiga . aku, mama dan papa. Malam itu Adi mengetuk pintu
rumah, dengan cokelat Beng – beng tanpa bungkusnya di bentuk “I LOVE U JESS
from ADI”. Indah sekali sampai – sampai aku menitikkan air mata. Kedua
orang tuaku terharu. Mama mendapatkan hadiah peniti terbuat dari bebatuan alam
berbentuk melati, yah, malam itu, aku resmi jadi ce-wek-nya!.
***
Mama
mengetuk pintu kamarku. Karena tidak di kunci mama masuk. Tersenyum melihatku
yang berdandan rapi. Memakai kebaya putih plus kerudung berhias bunga melati.
Tahu?? Malam ini aku akan menikahb dengan Adi Firansyah. Hmmm, hubungan kami
sudah berlangsung enam tahun. Aku sudah bekerja sebagai Bankir dan Adi bekerja
di sebuah perusahaan ternama, karyawan teladan. Mama memegang bahuku, matanya
berkaca – kaca.
“Kamu
tampak cantik dengan jilbab ini sayang…..”
Air
mataku menetes, ku tepuk lembut jemari mama yang terawat. “Aku akan selalu
memakai jilbab, ma….”. kami sama – sama tersenyum.
Empat
tahun yang lalu, aku masih beragama Kristen dan sekarang aku muslim. Selama
hubungan kami tidak ada pengintimidasian. Selama ini dia menghargai yang
namanya privasi. Yah, bukan pula karena dia pacarku, aku masuk Islam, bukan
karena itu. Tapi benar – benar dari hati. Mama dan papa juga masuk Islam dua
tahun yang lalu.
“Ayo
keluar, kasihan Adi menunggu di bawah dengan was – was ”
“Sebentar
lagi ma…”
Mama
keluar dank u tarik lari di hadapanku, sebuah cokelat. Aku tersenyum, bungkus
Beng – beng berjubel disana. Selama kami jadian, tidak ada hari tanpa Beng –
beng. Cokelat wafer ini yang menjadi jalan, yang di tunjuk Allah untuk hubungan
kami yang awal mulanya hanya main – main tapi berkelanjutan serius.
Ku
ambil diaryku enam tahun yang lalu. Ku buka halaman yang menurutku konyol tapi
begitu berarti dan bermakna sejati dulu. Aku cekikikan pendek.
“Dear
diary._.
Aku merasakannya, ya, kini aku merasakan cinta yang sesungguhnya.
Cinta yang dari dulu aku harapkan. Yah, memegang komitmen atau lupakan saja.
Bersama Adi aku mulai belajar yang namanya mencintai diri sendiri. Mencintai
seseorang dengan ala kadarnya. Huh.. Beng – beng,, tabrakan itu, ya….. Beng –
beng itu.
Ha..ha..ha..
jalanku bertemu dengan Adi. Untuk kedua temanku, Lena
dan Desi,
I LOVE U SO MUCH
GIRLS._. U’R THE BEST OF MY FRIENDS!!!”
Ketika
ku tutup laciku, pintu kamarku di buka paksa oleh Lena
dan Desi yang sekarang menjadi ibu dari balita mungil – mungil melotot padaku,
aku nyengir.
Tanganku
di tarik dua sahabatku yang juga masuk Islam tiga tahun yang lalu, bahkan Lena married dengan ustadz yang berdedikasi nasional.
Makmur mereka, ku harap juga denganku.
Ketika
kami turun dari anak tangga, Adi dan keluarga beserta teman – temannya menengok
kami. Aku tertawa pendek, lepas. Aku tidak bisa menahannya. Adi ikut tertawa
dan yang lain ikut terbawa. Ya, mas kawinku, di samping seperangkat alat
sholat, perhiasan 79 karat, uang $ 10000 dan Beng – beng 50 kardus besar.
Aku
duduk bersimpuh di sampingnya. Menghadap moden, suami Lena
dengan muka berseri – seri. jemari kiri Adi yang dingin menggenggam tanganku
yang hangat. Ya………. Siap deh untuk selusin anak atau belah dourennn!!!!
._.SEKIAN._.
Oleh:
Titik Ambarwati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar