Pages

Labels

Sabtu, 22 Juni 2013

cerpenku "GARA-GARA BENG-BENG SEKALI NYOBA, BERASA DAHSYATNYA!"


GARA-GARA
BENG-BENG
SEKALI NYOBA, BERASA DAHSYATNYA!

            “Thok… thok… thok! Jes, bangun! Sekolah nggak? Sudah siang sayang!” Dengan suaranya yang sopran mama berkata di balik pintu.
            “Ehm…” Dengan tak acuh aku kembali menaikkan selimut. Tidur lagi…!
            “Jes… Dhok…!dhok…!dhok…! ya ampun ini anak perawan! Bangun Jesica!”       “Iya… iya…ya” Dengan mata setengah melek aku terbangun, beringsut dengan mundur. Belum semua saraf otakku terbangun, langsung sport ketika pantatku tidak menemukan lebaran ranjang. Dengan muka tertekuk-tekuk, berjalan sempoyongan dan si pantat yang sakit aku menuju kamar mandi di dalam kamarku. Sialan! Pantan dah trepes gini, jatuh lagi! Mungkin Tuhan bermaksud membuaku kesal. Abisnya, baru jalan empat langkah, jempolan kakiku menabrak kaki meja yang kuat! Ah… dasar nasib memeng sial!
            Belum sempat sarapan aku langsung menjinjing sepatu kets putihku keluar rumah. Aku berlari keluar halaman dengan bertetiak-teriak.
            “Hei… tunggu-tunggu!” Angkot yang ku teriaki berhenti juga dalam jarak sepuluh meter. Ah… dasar! Aku masih harus berlari lagi dengan sepasang sepatu di tangan ku.
            Ku hempaskan pantatku kee jok penumpang sambil ngomel-ngomel. “Si abang nih, narik angkot pagi-pagi bener!”
            “Ya ma’af neng, biasanya abang juga nariknya jam segini kan?”
            Samar-samar ku dengar helaan nafas kedua temanku, Lena dan Desi yang ternyata sudah duduk manis disampingku. Aku cuek aja sambil memakai kaos kaki sama sepatu kets.
            “Lo aja kali Jes, yang bangunnya kesiangan?” sambung Lena.
            “Ya maklumlah, semalem kan gue belajar sampai kemaleman?!” sewotku.
            “Ha…?? Lo belajar? Sampai kemaleman?! Nggak salah tu? Jesica belajar? Aduh… mimpi kok di siang bolong!” kucibirkan mulutku ke Desi. Ini nih, temen dari banyak temenku yang suka nyinyir, sampai kadang-kadang ingin ku plester satu meter mulutnya itu. Tapi… dia sebenernya anak yang baik sih. Cuma itu mulutnya!.
            Kami bertiga melenggang dengan pesona masing-masing ke halaman SMAN 1 Semarang. Lena yang bermuka cantik dan bijak, Desi yang centil pintar dandan. Lalu aku…? Aku ya, seperti ini,ikal rambut tak teratur, jauh dari make-up, tiga jerawat di kening yang tak terawatt, pakaian seragam tanpa blang-blang dkk. Pokoknya easy going deh!
            Ketika mencapai lorong menuju kelas X.V seorang siswa,kakak kelasku tersenyum menggoda ke arahku. Sentak aku sebel! Udah di bilangin, aku Jesica Wati nggak punya mood! Buat jalin asmara, teteeep aja bujuk! Muke gile! Ku plengoskan wajahku, kakak kelas itu melongo merana. Lena dan Desi cekikikan meninggalkan si kakak kelas yang malang di belakang.
            Lena memeluk bahuku ketika kami masuk ke kelas. Dia menggeleng-geleng.
            “Ya ampun, Jess, mau sampai kapan lo kayak gini? Udah deh lupain si sialan Mario! Lupain ja sih… si play boy itu, masak iya sih lo harus mutar 180 derajat? Hanya untuk melampiasin sakit hati elo? Jangan deh, kami nggak kuat lama-lama kalao lo kayak gini terus”
            “Dengerin tuh, yang Lena bilangin!” sambung Desi.
            Aku hanya menarik nafas berat,  memang semua ini berawal mula dari perasaannya yang mendua dengan cewek lain kelas. Huh, 180 derajat? Memeng iya. Dulu penampilanku nggak serba easy going. Pelajaran selalu dapat nilai yang terbaik. Tapi sekarang janankan dapat rata-rata dapat angka lima aja harus nyontek. Tapi… yang terparah, aku tidak lagi percaya apa tang di sebut cinta sejati. Mario, dulu dengan segala jenis perkataannya telah membuatku muak. Pada cinta, bull shit, cowok? Piker dua belas kali. A ku menarik nafas, huh… biarlah. Ku tepuk saku bawahanku. Masih! Itu contekan buat mid semester. Kali ini yang terakhir, akhir mid semester, akhir nyontek! Aku melenggang cemas campur semangat. Sebentar lagi aliran andrenalinku akan mencuat keras, untuk nyontek!.

***

            Sambil makan cokelat BENG-BENG, Lena merangkul bahuku. “Beneran lo nggak mau pulang bareng kita?”
            “Nggak deh Len, gue mau ke supermarket. Mau beli sesuatu” jawabku malas.
            “Ya udah, kami duluan ya!”
            “Yuuuukk!” sambut Desi. Aku hanya tersenyum kecil.
            Dengan keranjang penuh belanjaan aku menuju kasir. Antri di depan cowok kuliahan lengkap dengan jaz seragam warna hitam. Aku menunggu tak sabar. Lama amat… belanja apa sih? 2 detik… 4 detik… Aduh masak laki kalau belanja lamanya sama banyaknya, ngalahin cewek?! Mulutku manyun . Ya udah, lebih baik aku periksa dulu belanjaan! Biscuit, cokelat, kerupuk kentang titipan mama yang seabrek, lalu… SRUK! Belum sempat selesai mendata, aku sudah ditumpahi belanjaan seabrek. Ya, aku di tabrak si anak kuliahan di hadapanku dengan belanjaannya yang menggunung. Belanjaan ku juga ikut jadi korban. Otomatis kami memunguti barang-barang yang terlantar.
            “Sorry-sorry, beneran aku nggak sengaja! Nggak lihat…”
            “Ya iyalah belanjaan menggunung gitu! Mana bisa lihat?!”
Sewaktu ku lirik dia sekilas. Oh shit! Tatapannya … tatapannya lembut banget! Jadi risih sendiri. Lalu kami berdiri dengan belanjaan kembali semula.
            “Kamu nggak apa-apa kan?”
            Aku mengangguk seadanya. Kesal juga dengan tatapannya yang rasa-rasanya nggak mau berkedip. Masih aja di belakang ku ketika aku menyerobot ke kasir.
            Aku menunggu… masih menunggu… menunggu! Oh, manasih angkotnya?! Ku usap lemas jidatku. Menatap langit yang sudah tidak seterang tadi. Sudah sore, ujung sepatu kets ku menginjak gemas lantai batako. Uuh… mana angkotnya? Lalu pengendara motor TIGER mutakhir berhelm membungkus erat kepalanya berhenti di depanku. Ku tatap nanar orang yang berhenti di depanku. Helm itu di buka dan menatap ku dengan senyum damai.
            “Kok masih disini?” penabrakku tadi.
            “Ho’oh nunggu angkot tapi rasa-rasa udah di boom ludes tadi! Kesel ku.
            Ya udah, gimana kalau kamu  aku anterin?”
            “Nggak usah,” jawabku datar.
            “Aku masih tahan 2010 jam lagi kok!” sewotku.
            Penabrak ku hanya tersenyum saja. Lalu mengendarai motornya ke keramaian jalan tol. Ku usak-usak rambut ikalku yang tak teratur. Angkot belum datang juga, nggak bawa ponsel lagi, mau telpon rumah tapi penghuninya pada makan malam di rumah bude. Mau telpon Lena atau Desi pasti tak akan membantu! Huh! Mereka akan sibuk dengan pacar! Ini kan malam minggu! Lalu… kuputuskan jalan kaki. Itung-itung mengurangi jarak. Kaki terasa sakit tak karuan membuatku berhenti. Hari sudah gelap, dan rumahku masih di jarak dua kilo meter. Aduh…! Lalu motor TIGER tadi sore berhenti disampingku lagi. Bukan dengan helm, tapi topi dan kaca mata biru bening, iiih….
“Kasihan! Kenapa? Nggak dapat angkot? Udah deh nyerah aja! Sampai 2010 jam sekalipun kamu masih akan disini. Ayo…!”
Aku mengkerutkan kening, kuangkat daguku ke arahnya yang rapi.
            “Lagi sibuk kan? Nggak ah ganggu aja.”
            “Tenang aja lagi, masih dua jam kok janjinya.”
            Yam au gimana lagi? Kaki rasanya sudah lengket!, ku terima saja tawarannya. Selama perjalanan 2 km kami bercakap-cakap ringan. Kami berkenalan,bnaamanya Adi Firansyah, kuliah di UNDIP tekhnik sipil semester 2. tidak seperti aku, bicaranya lancar tanpa kekakuan. Kamipun sampai di rumahku yang berlantai dua, berlatar belakang penghijauan. Dia tak ku tawari masuk ke dalam, dan Adi tak ambil pusing.
            Mandi ala bebek,pakai baju kebesaran yang nyaman, duduk di ranjang dan membongkar belanjaan. Kok? Ada Beng-Beng? Itu…..taukan?? wafer di balut cokelat dkk. Ku pikir lagi, rasa-rasanya nggak beli deh! Lagian cuma satu bungkus aku lebih suka beli satu pack, sekalian sebagai persediaan! Apa ini miliknya Adi ya? Bisa juga sich… ku tarik laci meja belajarku . lalu ku masukkan Beng-Bengnya Adi dan sudah! Terlindung agar bisa ku kembalikan….. suatu saat nanti.
            Ketika ku terlelap tatapan itu datang. Dengan senyum manisnya mengganti ejekan Mario dengan ceweknya yang berganti-ganti. Mendekat padaku dengan hadiah…. suatu cokelat, Beng-Beng. Lalu mataku nyala. Menatap langit-langit kamarku dengan dahi berkerut.
Kok? Adi? Beng-Beng? Dengan rada sempoyongan kuraih laci. Beng-Beng dengan nyaman bersandar di dekat kotak rahasiku. Ya sudah, aku tidur lagi. Tatapan itu masih datang, hanya saja aku sudah tidak berpenampilan going kayak sekarang, tapi benar-benar BE MYSELF.
            Keesoksn paginya, semua berubah, penampilanku lebih teratur. Meskipun ikal rambut masih tak karuan, paling tidak, aku tidak bangun terlambat, ku sapa papa mama yang sedang sarapan nasi goreng special. Papa angkat alis melihatku. Aku pura-pura tidak tahu, aku tersenyum sendiri. Selesai sarapan, aku pamit keluar. Dalam tas rancel hitamku ada Beng-Bengnya Adi. Ya misi pengembalian di mulai.
           
            Aku mulai bosan. Berkeliling di panasnya bumi yang membakar kulit. Tak ku jumpai Adi. Ku ewati super market, masuk ke dalam hingga berkali-kali. Tapi… ah, capek! Kuhentikan mobil sedan keluarga di lampu merah. Ku buka lagi tasku, si Beng-Beng terdiam dengan pesonanya. Ingin ku makan saja, jadi kalau ketemu Adi, ku ganti dengan chas money. Tidak…
            Pulang, selesai sekolah ku cari lagi Adi, nggak ketemu juga. Ah… capek! Sampai 4 hari keadaan nggak berubah. Lena dan Desi menggelendus akan gelagatku. Aku di tanyaa ini itu sampai mau ngaku hingga ku katakana yang sesujurnya bahkan tentang kehadiran Adi yang selalu muncul dalam mimpi dan pada wajah orang lain menjelma indah di wajah orang lain, tersenyum mempesona dengan tatapan lembutnya.
            Lalu rencana kedua teman baikku datang dengan konyolnya. Aku di paksa atau tepatnya di seret ke universitasnya Adi. Disana kami memakai seragam sekolah tampak mencolok. Dilirik para mahasiswa dengan penuh keingintahuan. Lalu kami mendekati dua orang yang duduk di bangku taman yang sedang main catur dengan serius. Desi berdehem kentara. Mereka melirik kamidengan tersenyum ramah.

            Ada yang bisa kami Bantu? ” Tanya mahasiswa bercelana kaki pendek. Kami saling menyodok lengan kawan. Lalu dengan tenang agak gugup Lena menjawab, aku hanya diam membisu.
            “Itu Adi Firansyah ada?”
            Teman yang satunya balik Tanya “Adi Firansyah yang mana ya?”
            Kali ini aku harus bicara, sudah kadung! “Ee….., fakultas tekhnik sipil semester II”
            “Ee…….!” Mereka mengucapkan sama – sama. Lalu si celana kaki pendek pergi ketempat beradanya Adi.
            Teman yang di tinggal itu di introgasi Lena dan Desi, aku si diem aja. Di mulai dari siapa, Adi dan cewek idamannya.
            “Adi itu …… ya, semenjak di putus cewek yang menduakannya , walaupun bisa di bilang si ceweknya itu bilang SOUL MATE segala, tau kan apa itu SOUL MATE?? Belahan jiwa, belahan jiwa!!! ”
            “Lalu intinya?” Desi mulai sewot. Si mahasiswa ini banyak omong tanpa ujung pangkal.
            “Singkatnya dia sakit hati! Tapi …… dia berhasil membalut lukanya dan …sembuh.”
            “Jadi, cewek idaman Adi itu yang bagaimana??” Tanya Lena dengan kesabaran yang berlebihan.
            “Be yourself!! Itu thok!!” lalu garuk – garuk kepala. “Nggak perduli dia cantik atau jelek, pokoknya jadi diri sendirilah”
            Lalu datanglah Adi Firansyah yang berpakaian necis. Aku menyumpahi jantungku yang berdentam – dentam tak terjinakkan. Aduh …..kok!! lebih dari getarannya Mario ya? Ku tatap Desi dan Lena bergantian.
            “Whoii….!! Jesica kan?”
            Aku mengangguk, “Ada angina apa nich?”
            Saat mau buka mulut, Desi menyerobot “Eh – eh, kami boleh kan di ajak keliling – keliling kampus?”
            “Eh… iya tentu boleh, capa tahu lulus nanti kalian masuk kampus ini” jawab mahasiswa tadi seadanya.
            Jadi yach, kami di tinggal berdua. Adi duduk tiga jengkal jauhnya. Suasananya kaku, ku ambil Beng – bengnya Adi dari rancel. Ku serahkan dengan cemas, dianya malah terbahak.
            “Ini??”
            “He’eh ikut keseret gitu, pas jatuh kemarin”
            Dia menggerek. Di pungut Beng – beng mungil itu, di buka bungkusnya dan di bagi dua, di kasihnya padaku satu. Kami memakannya dengan tenang.
            “Makasih ya, sebenarnya kamu nggak harus ngembaliin kok. Kamu bisa memakannya.”
            Aku menggeleng. “Ah begitu”
            Pertemuan kami itu mengeratkan hubungan persahabatan kami. Ya, begitu deh! Aku mulai merasa bodoh dengan keadaanku yang lalu. Down tanpa terkira – kira, dan merasa tak nyaman dengan keadaan yang bukan diriku itu. Semester akhir aku kembali meraih semangatku yang telah hampir pupus. Dan Mario… kabar terakhir yang ku dengar, dia di putus ceweknya parahnya lagi tu cewek yang paling di gandrunginya. Depresi mungkin dia sekarang. Yups Be Yourself! Itu semboyan kebanggaanku sekarang.
            Perasaan ini semakin menggila tapi aku takut untuk mengutarakannya. Mungkin ada telepati ya?. Lagi – lagi Lena dan Desi yang berbuat. Tahu apa jawabannya?? Tidak ada perasaan yang benar – benar gantung pada satu sama lain. Harus menjadi diri sendiri dan yang terpenting, KOMITMEN.
            So, hubungan kami tah tahu ujung pangkalnya. Hingga suatu malam ulang tahun mama yang kami rayakan bertiga . aku, mama dan papa. Malam itu Adi mengetuk pintu rumah, dengan cokelat Beng – beng tanpa bungkusnya di bentuk “I LOVE U JESS from ADI”. Indah sekali sampai – sampai aku menitikkan air mata. Kedua orang tuaku terharu. Mama mendapatkan hadiah peniti terbuat dari bebatuan alam berbentuk melati, yah, malam itu, aku resmi jadi ce-wek-nya!.
***

            Mama mengetuk pintu kamarku. Karena tidak di kunci mama masuk. Tersenyum melihatku yang berdandan rapi. Memakai kebaya putih plus kerudung berhias bunga melati. Tahu?? Malam ini aku akan menikahb dengan Adi Firansyah. Hmmm, hubungan kami sudah berlangsung enam tahun. Aku sudah bekerja sebagai Bankir dan Adi bekerja di sebuah perusahaan ternama, karyawan teladan. Mama memegang bahuku, matanya berkaca – kaca.
            “Kamu tampak cantik dengan jilbab ini sayang…..”
            Air mataku menetes, ku tepuk lembut jemari mama yang terawat. “Aku akan selalu memakai jilbab, ma….”. kami sama – sama tersenyum.
            Empat tahun yang lalu, aku masih beragama Kristen dan sekarang aku muslim. Selama hubungan kami tidak ada pengintimidasian. Selama ini dia menghargai yang namanya privasi. Yah, bukan pula karena dia pacarku, aku masuk Islam, bukan karena itu. Tapi benar – benar dari hati. Mama dan papa juga masuk Islam dua tahun yang lalu.
            “Ayo keluar, kasihan Adi menunggu di bawah dengan was – was ”
            “Sebentar lagi ma…”
            Mama keluar dank u tarik lari di hadapanku, sebuah cokelat. Aku tersenyum, bungkus Beng – beng berjubel disana. Selama kami jadian, tidak ada hari tanpa Beng – beng. Cokelat wafer ini yang menjadi jalan, yang di tunjuk Allah untuk hubungan kami yang awal mulanya hanya main – main tapi berkelanjutan serius.
            Ku ambil diaryku enam tahun yang lalu. Ku buka halaman yang menurutku konyol tapi begitu berarti dan bermakna sejati dulu. Aku cekikikan pendek.
            “Dear diary._.
            Aku merasakannya, ya, kini aku merasakan cinta yang sesungguhnya. Cinta yang dari dulu aku harapkan. Yah, memegang komitmen atau lupakan saja. Bersama Adi aku mulai belajar yang namanya mencintai diri sendiri. Mencintai seseorang dengan ala kadarnya. Huh.. Beng – beng,, tabrakan itu, ya….. Beng – beng itu.
            Ha..ha..ha.. jalanku bertemu dengan Adi. Untuk kedua temanku, Lena dan Desi,
I LOVE U SO MUCH GIRLS._. U’R THE BEST OF MY FRIENDS!!!”

            Ketika ku tutup laciku, pintu kamarku di buka paksa oleh Lena dan Desi yang sekarang menjadi ibu dari balita mungil – mungil melotot padaku, aku nyengir.
            Tanganku di tarik dua sahabatku yang juga masuk Islam tiga tahun yang lalu, bahkan Lena married dengan ustadz yang berdedikasi nasional. Makmur mereka, ku harap juga denganku.
            Ketika kami turun dari anak tangga, Adi dan keluarga beserta teman – temannya menengok kami. Aku tertawa pendek, lepas. Aku tidak bisa menahannya. Adi ikut tertawa dan yang lain ikut terbawa. Ya, mas kawinku, di samping seperangkat alat sholat, perhiasan 79 karat, uang $ 10000 dan Beng – beng 50 kardus besar.
            Aku duduk bersimpuh di sampingnya. Menghadap moden, suami Lena dengan muka berseri – seri. jemari kiri Adi yang dingin menggenggam tanganku yang hangat. Ya………. Siap deh untuk selusin anak atau belah dourennn!!!!


._.SEKIAN._.

                                                                                    Oleh: Titik Ambarwati
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Blogger news

Blogroll

About